Thoughts: Parental Leave, Kak Seto and Stuff

Seminggu belakangan ini badan ga enak banget rasanya, demam & flu yang ga kelar-kelar, jadilah 2 hari belakangan dihabiskan dengan istirahat di rumah dan berkegiatan hanya di kasur saja, chating dengan grup temen-temen yang sedang hamil, baca artikel ini dan itu.

Kemudian, saat tadi siang baru bangun tidur efek dari obat trus aku membaca artikel ini. Sedih banget, ada seorang Ibu yang kehilangan bayi yang baru saja berusia 3 bulan di hari pertama dia nitipin di daycare, 2.5 jam di hari pertama si Ibu kembali bekerja karena Parental Leave nya yang selama 3 bulan sudah selesai. Dia tidak mempunyai option lain selain harus terus bekerja dan mengikuti peraturan perusahaan, karena suaminya freelance & asuransi kesehatan bayinya bergantung pada perusahaan kantornya. Pilihan yang terbatas.

Beberapa waktu yang lalu juga sempet membaca berita tentang Kak Seto yang mengajukan usulan agar cuti hamil dibuat selama 3 tahun (bisa dibaca di sini). Dari link di situ bisa dilihat respon dari pembaca, sebagian besar menolak usulan tersebut, beberapa lagi membully. Belum lagi juga membaca berbagai opini lain dengan pro-kontranya yang berlalu lalang di media sosial. 

Menurutku niat Kak Seto ini baik banget, dia juga mempunyai dasar & niatan yang jelas, jika aku kutip di sini “Supaya ibu bisa mendidik anaknya dari awal agar dasarnya kuat sebelum anak tersebut masuk Taman kanak-kanak”. Interpretasi aku, ia ingin orang tua memberikan pondasi yang kuat dalam mendampingi pembentukan karakter anak (anak yang nanti saat dewasa bisa membangun Indonesia), sebelum dia siap dilepas at least usia TK. Usulan itu juga harus diuji coba kok, dan dia menekankan usulan itu dilakukan di daerah-daerah yang mempunyai data banyak anak-anak yang bermasalah. Bisa jadi memang itu berhubungan.

Tapi aku lihat dari topik ini, more people only focus about the mechanism rather than the intention:

“what if a company dont want to hire a female worker again?”

“hah? kasian perusahaannya dong”

“kalo terus jadi tiap tahun bunting gimana?” 

What if this, what if that. That’s mechanism. Dan memang, untuk menjalankan suatu proses perlu mekanisme. Nah mekanisme ini kan yang belum dirumuskan, masih sebatas usulan. But the intention is there..

Coba berandai-andai yang lain, gimana kalo memang perusahaan mematuhi aturan yang diusulkan namun si Ibu ga disubsidi gaji? Tapi dia bisa kembali bekerja disaat udah siap meninggalkan anak? That’s also mechanism. At least we have an option, opsi-opsi yang lebih banyak dari sebelumnya.

Kemarin ngobrol2 ama Miku, jika dilihat dari berbagai respon yang ada, kebanyakan oragn-orang masih belom liat niatnya dan masih fokus di mekanismenya. Dua duanya tentunya berujung ke sebuah hasil, dan dari situ baru keliatan. Niat awalnya gimana? Yang niat memang mendidik anak akan berbeda dengan yang curi curi kesempatan dengan memanfaatkan waktu yang ada untuk hal-hal lain. Orang yang fokusnya 100% berangkat dari niat, akan beda tentunya sama gak atau kurang niat.

Tapi memang, cuti 3 tahun terlalu muluk rasanya di Indonesia. Di saat ini cuti melahirkan 6 bulan (agar sesuai asi eksklusif)  saja masih diperdebatkan & diperjuangkan, ruangan ramah Ibu menyusui di perkantoran saja belom memadai.

Kemudian aku teringat tentang betapa “hijaunya” negara Finlandia jika berkaitan dengan pengasuhan bayi & anak. Seiri-irinya iri. Baik pemerintah & perusahaan menunjukkan kepeduliannya untuk bayi & anak. Sebelum lahir pemerintah sudah memberikan box berisi perlengkapan bayi hingga usia 1 tahun, kewajiban ada day care & taman bermain setiap beberapa kilometer, serta Parental Leave yang memungkinkan Sang Ayah atau Sang Ibu yang mengambil secara full. Di sana sumber daya manusia memang dipikirin banget ya, karena penduduknya ga membludak kaya di sini. Lengkapnya silakan baca di blog mamarantau. 

Cuti lahiran yang ideal menurutku? 6 bulan cuti (asi eksklusif) dan seorang pekerja perempuan mempunyai pilihan untuk memperpanjang hingga 1 tahun dengan mekanisme tertentu (bekerja hanya setengah hari, gaji tidak full, bisa remote working) dengan catatan, niat fokus pada pengembangan anak. Atau pada setiap gedung perkantoran, disediakan Daycare yang memungkinkan untuk Full Time Worker Mom bisa melihat anaknya sewaktu-waktu

Well tentunya ini hanya opini aku…

Harapan aku, perempuan mendapat banyak pilihan dalam menjalani berbagai peran dalam hidupnya. Yaaaa mungkin pilihan pilihan itu tidak mudah, tapi alangkah lebih baik jika opsi opsi itu beragam dan siap dipilih dengan konsekuensinya masing-masing.

As a mom to be, mulai mikir juga, next gimana ya saat parental leave sudah selesai. Will i get a lot of option? Will i leave him in a hand of stranger / mom/ mom in law saat usianya 3 bulan dan aku kembali bekerja? Entahlah.. Belom kepikiran. Selanjutnya aku pasrah dan mengusahakan yang terbaik. Aku masih butuh duit dari bekerja anyway hehehe.

Semoga kita semua diberikan jalan yang terbaik, perlindungan keselamatan & kesehatan bagi seluruh keluarga ya. Amin 🙂