MALEKI & GRAVITA #6

http://zarryhendrik.tumblr.com/post/987936299/maleki-gravita-5

——-***——***——-***——

Aku hanyalah seorang wanita yang kehilangan kekasih secara tiba-tiba. Kerinduanku dan kekhawatiranku padanya membuat aku rela mencari ke segala penjuru bumi. Namun aku tak menduga jika mencari Maleki membuatku harus mengikuti mahluk yang mengaku anak matahari ini entah kemana, aku curiga dia ini sebenarnya setan yang membawaku dunia lain, ataukah memang benar dia membawaku menuju matahari, menjemput Maleki.

Hmm, matahari…pelajaran yang kudapat dari bertahun-tahun menempelkan pantatku di bangku sekolahan menghasilkan suatu pengetahuan bahwa matahari itu bersuhu jutaan celcius, dan aku akan dibawa kesana? ah apakah aku akan terbakar, gosong dan menjadi abu sebelum bertemu Maleki. Aku tak mau, memang aku akan mencintai Maleki hingga rambutku mengabu, tapi tidak begini. Aku tak ingin menjadi debu sebelum memeluk Maleki. Aku tiba-tiba merasa bodoh menerima ajakan makhluk berambut lilin ini. Aku menyesal, namun kembali kuingat bayangan Maleki dari api tangan pria berjubah ini ketika di Hutan Lognan. Dia bersama 2 gadis yang sepertinya kembar, terbang kesana-kemari, sepintas kulihat pipinya berwarna oranye dan bertelinga runcing. Aduuuh mahluk macam apa lagi itu yang menculik Maleki, sementara aku diculik mahluk berambut lilin bermata hangat dan lumayan rupawan ini. Tapi, apa salah kami hinga harus berhadapan dengan mereka, menyelamatkan angkasa pula.

___***_____***_____  ?

“Bangunlah Gravita, kau sudah sampai”  

Aku mendengar sayup suara lelaki, ah suara itu seperti Maleki.

“MALEKII!!”. Aku terperanjat dan segera ingin melihat sumber suara itu. Suara yang selalu kurindu.

Aku melihat sekelilingku, semuanya berwarna merah, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Benda seperti percik kembang api bertongkat terhampar luas di hadapanku. Tertanam di tanah yang juga berwarna merah, seperti darah. Langit berwarna oranye dengan bintik hitam dimana-mana. Dan tak seperti yang kubayangkan disini tidak terlalu panas, malah dingin. Tempat macam apa ini, gumamku.

“Selamat datang di Taman Aeros”, ujar Bhares yang muncul di hadapanku sembari mengulurkan tangannya untuk menolongku berdiri. Namun ku tepis. Aku merasa harus berhati-hati dengannya

“Dimana ini”

“Apa ini matahari” kataku sembari bangkit merapihkan diri.

“Bukan ini adalah rumahku Aeros, salah satu bintang kubu matahari. Jikalau kau melihat bintang berwarna merah di gelap malam, nah itulah yang sedang kaupijak kini. Ini satu-satunya bintang yang tidak termasuk dalam Gapia”, jelasnya.

Ya, aku ingat bintang ini. Kala itu aku dan Maleki seperti biasa mencoba menikmati payung malam. Kita menunjuk pada satu bintang merah. Maleki sempat berkata padaku, bintang itu berwarna merah karena sedang sakit mata, karena terus memandangiku tanpa berkelip. Ah, Maleki, aku rindu canda nya.

Aku tersenyum sendiri dan tersadar bahwa Bhares memandangiku sedari tadi.

“Dengar Bhares, dimanapun aku kini, sekarang dimana Maleki?, kau bilang kau bisa membawaku ke tempatnya”

“Dia tidak disini” ujarnya dengan santai sembari menggerakkan jemarinya bermain dengan sejenis kunang-kunang yang berterbangan di sekitar tubuh tegapnya. Kunang-kunang berambut api.

Tingkahnya itu membuatku geregetan.

“APAH?! Kau bilang kau akan membawaku ke tempat Maleki! Mana janjimu!!” aku berteriak. Bersamaan dengan teriakanku itu aku melihat tempat ini semakin bersinar. Kumparan kembang api yang terhampar di hadapanku ini semakin bercahaya, mereka menyala-nyala. Bhares, mengamati pijaran-pijaran cahaya di sekelilingnya. Begitupun denganku.

“Kau punya energy yang bagus Gravita!, bisa dilihat cintamu sangat besar pada Maleki, mataharimu itu”

“Dengar Bhares, Maleki itu matahari keduaku dan dia juga ksatria malamku. Dia semestaku”, jawabku lantang

“Pantas mereka menculik Maleki”, begitu ujarnya sembari sedikit tersenyum “Andai ada gravita sepertimu disini, sedari dulu” gumamnya.

“Hah, Apa maksudmu”. Aku terheran dengan kata-katanya.

“Dengar Gravita, Maleki itu tergila-gila pada bintang, ia takkan mau kembali ke bumi. Sudah lupakan dia, dia betah bersama sepasang gadis kembar disana” katanya

“Maleki tidak mungkin seperti itu!! Dia tidak akan betah di tempat manapun selain denganku Bhares!! KAU BOHONG!!” aku bergejolak jengah dengan kata-katanya, dan tempat ini semakin berpijar.  Di langit kembali aku melihat goresan tinta, mirip seperti pelangi namun berwarna merah yang berkilauan.

“Sepertinya Aeros suka denganmu Gravita, energimu menghidupkan kembali tempat ini.”

“Menghidupkan?” aku semakin kebingungan.

“Iya Aeros adalah bintang kubu matahari, semenjak lebih banyak orang memandang bintang, Forares membuat bintang ini untuk mewakili kehadirannya di kala malam, namun makin lama pijar kemerahan dari Aeros semakin meredup, karena tetap saja semua lebih menyukai bintang yang terang, bukan kemerahan. Dan energi darimu, rupanya cocok untuk membuat Aeros lebih menyala dibanding biasanya. Hmm, sepertinya Ibu Forares tak perlu melaksanakan Hari cahaya hitam dan meluluhlantakkan bumi dan Gapia”

“Dengar Gravita, jikalau kau mau menyelamatkan bumi, bintang dan juga Maleki. Kau harus tinggal disini, dan menjadi sumber cahaya baru bagi Aeros sebagai anak Forares, energi darimu membuat tempat ini lebih indah dibanding biasanya. Energi mu cocok untuk anak-anak Forares, dengan begitu manusia akan kembali menyukai Cahaya Forares”

Forares, Gapia, Hari Cahaya Hitam……kukira penipu itu hanya ada di dunia manusia, tapi ternyata makhluk antah berantah seperti ini pun mencoba menipuku. “DENGAR BHARES!! AKU TAK PEDULI MAU CAHAYA HITAM, BUMI, BINTANG ATAU APAPUN! BAWA AKU KE TEMPAT MALEKI!!!” aku semakin meluap.

“Dengar gravita, jika kau tidak menurutiku. Maleki akan terbakar di bintang bersama dua gadis kembar itu. Karena Forares ingin menghancurkan mereka pada Hari Cahaya Hitam, sekarang aku bertanya kembali padamu, kamu mau melihat Maleki hidup atau dia hancur dan dunia ini termakan cahaya hitam?!!”

Aku tidak paham dengan semua ini, aku hanya ingin bertemu Maleki, menyelamatkannya. Biarlah dunia menghitam selamanya asal aku bisa bersama Maleki.

Dadaku sesak dihadapkan pada keadaan yang tak lebih baik dripada aku di bumi, babhkan ini lebih buruk.

“Jika aku menurutimu, apa aku bisa bertemu Maleki? Apa dia akan selamat?” tanpa sadar aku meneteskan air mataku.

Bhares menatap wajahku dan membelainya.

“Gravita, gravita, gravita, manusia itu sungguh beruntung memilikimu”

Sesaat setelah itu terdengar bunyi ringkikan kuda bersayap dan bercula, seperti Pegasus. Mereka berlarian di langit oranye seakan tempat pacuan kuda. Bhares menengadahkan kepalanya,

“Ah, kini mereka sudah muncul, hari itu akan segera terjadi?”  

———————***———————

bersambung