Secangkir Coklat & Dialog Sepi

Rerintik hujan mengetuk jendela, bulan purnama menggagahi angkasa, langit begitu gelap sekaligus semarak, kilat sesekali mengintip di balik awan yang terlalu pekat. Ah, malam ini, hujan akan turun dengan deras, batinku.

Aku membuat secangkir coklat, malam ini terlalu dingin untuk tidak membuatku menelan sesuatu yang hangat, bersamaan dengan itu…

KRIIIIIING

Terbaca di layar handphone. Alex, sahabatku, sudah lama aku tak berjumpa dengan dia, dia sedang menikmati liburan yang tak kunjung berhenti untuk mengelilingi Indonesia, pasti saat ini dia mau pamer, sedang di mana dia berada.

Rahne : “Hai Alex”

Alex : “Rahne, hey! Tebak aku ada dimana?”

Seperti dugaan kan,

Rahne : “Hmm, kau minggu lalu kau ada di Teluk Kiluan, kemarinnya lagi kau ada di Bali… Pulau Sempu? Kau pernah berkata padaku, ingin segera mengunjunginya lagi”

Alex: “Bukan! Aku ada di depan kamarmu, ayo cepat buka sebelum aku menggigil beku”

Rahne : “Hahaha, kau memang bisa sekali mengejutkanku, tunggu”

Aku beranjak dari sofa dan membuka pintu, dan Alex sudah di depan dengan senyum yang mempunyai segudang cerita. Kita berpeluk rindu, sudah sebulan lebih tidak bertemu.

Rahne :” kenapa tidak ketuk pintu atau memencet bel saja sih?”

Alex : “Iihhh, udah tauk! Namun sepertinya suara ketukanku kalah dengan suara petir di luar, lagipula kau lebih sensitif sama bunyi telpon ketimbang yang lain, ya kan?

Dia berbicara panjang lebar sembari menuju ke ruang tamu

Rahne : “Iya juga. Mau kubuatkan secangkir coklat?”

Alex: “Tidak perlu, biar kubuat sendiri”

Ujarnya sembari memasuki dapur.

Hujan semakin deras, hingga aku harus membesarkan volume televisi.

Alex : “Rahne, kamu tidak rindu terhadap rindu?”

Aku kaget dia menanyakan hal ini, mungkin dia terlalu sering melihat status twitterku dan berkonklusi seperti itu.

Rahne: “Tentu aku rindu, akan rindu”

Alex : “ 48 jam adalah waktu yang lama untuk menantikan rindu kembali bertamu, Ne…”

Rahne : “ jangankan berjam-jam, jika dia ada selangkah dari pijakan ku, aku sudah terajam rindu”

Alex : “Dia siapa? Rahne kau sudah terlalu lama sendiri. Aku heran katanya cinta selalu memilih. Katanya manusia hanya bisa pasrah menunggu. Lalu di mana kah sang cupid berada?

Haha, dia lagi-lagi mempertanyakan alasan kenapa aku masih sendiri.

Rahne : ”cupid tertimbun hutan tanda tanya, nanti jarum waktu yang akan menyisirnya dan cinta keluar tanpa diduga”

Alex : “asal hati yang menunggu tak skeptis dan menutup, mungkin cinta akan hadir saat airmata bergulir kala bersujud”

Dia berkata seperti itu dan lalu duduk di sebelahku. Melodi yang ada hanya lagu hujan diluar, dan aku memikirkan kata-katanya, kutiup coklat di cangkirku, dan kusesap untuk menghangatkanku.

Rahne : “cinta kurasa tidak menunggu air mata, tapi doa dalam sujud akan mewujud nyata dalam paras yang akan kupuja”

Alex : “apakah bayangan ideal sang kekasih mulai terkikis rasa sepi? Atau semakin menguat dalam harap yang pekat?

Alex menatapku seakan akan mataku aku ini tertutup oleh lukisan ideal yang membutakan pancaku. Dia seperti melotot, aku tertawa. Dia salah satu sahabat yang engkhawatirkan rasa sepiku.

Rahne : “ haha sepi cuma mengukir waktu, sepi hanya memperindah masa, hingga dia tiba dan menjalani detik denganku hingga akhir hela”

Seruku sambil mengacak rambutnya yang sedikit basah karena kehujanan

Alex : “masalahnya, siapkah menunggu saat waktu terus berpacu? Masihkah bersabar jika aksara yang indah memudar?”

Dalam hati. Aku masih betah menghitung waktu,

Rahne : “Dia memang layak ditunggu. Sabar sudah kujadikan pakaian, aksara yang pudar akan berganti kecup dan pelukan”

Aku tersenyum

Alex : “kesepian jadi cambuk yg mendera. Berulang dan menggema. Hati yang teriris sepi, akan mendingin dan mati. Di mana hangat menanti?”

Rahne : “hangat itu menjelma di sela jemarinya. Saat kita bertautan nanti, sepi akan menisankan diri. Itu pasti”

Alex : “ otak bisa berimajinasi, hati bisa terus berdelusi. Ketika realita menyapa, menghindar dan berkelit sudah sia-sia. Apakah cinta?”

Cinta, cinta, cinta, apa itu cinta kalau selalu dijadikan pertanyaan. Aku ingin cinta dalam bentuk rasa.

Rahne : “ketika aku terlalu banyak tanda tanya, itu bukan cinta. Tenang saja, Alex. Otak dan hati sedang menyiapkan diri, Tuhan dan alam sedang berdiskusi, tentangnya, untukku”

Alex : “ketika semua lenyap tak tersisa. Satu-satunya yg tertinggal hanya tanda tanya. Hati-hati, nanti hatimu terjebak di labirin hati!”

Ujarnya ketus, uh temanku ini, dia pikir aku yang terlalu keras dan menutup diri.

Rahne : “di labirin hati nantinya aku dan dia akan bersembunyi, tenang saja, saat semua melenyap, dia aku telah menyatu dalam abu”

Alex : “aku ingin melihat binar di matamu. Bukan binar pedih, tapi binar serupa mentari menari di atas buih. Indah, karena cinta. Bisa?”

Alex… aku terharu, aku dikelilingi teman yang peduli dengan hatiku.

Rahne : “Bisa. Saat matanya menyengat jantung & senyumnya menjemput hatiku. Dari 8 arah mata angin. Soroti aku, yang bercahaya karna cinta, temanku”

Aku tersenyum padanya

Alex : “Ada Tuan Putri terlalu nyaman berselimut sepi. Hanya sesekali mengintip, lalu mundur lagi. Hanya berbicara cinta, takut mengalaminya”

Dia terkikik dan menggodaku. Ah, andai kau tahu, takut ini wajar.

Rahne : “aku hanya berhati hati dengan hati. Karena sekali aku remuk lagi, waktu tak akan sanggup mengobatiku lagi.

Alex : “dibalik sakit yang merepih hati, bukankah cinta pernah terasa indah? Lalu mengapa harus takut dengan sakit yang mungkin mendera?

Rahne : “sakit yang pernah aku dera, hampir membuat aku mati rasa. Biar kupulihkan walau menelan sepi, dia akan datang menaklukkan takut ini”

Dia akan datang, temanku.

Hujan di luar telah mereda, percakapan ini membuatku geli sekaligus haru. Aku lalu melirik tas yang dibawa Alex dan berkata.

Rahne : “kita terlalu banyak berbicara, sampai hujan mengalah, dia diam dan berhenti. Sekarang, kemarikan tasmu, kupilih sendiri oleh olehku”

Teman terkadang seperti secangkir coklat, menghangatkan di saat dingin menyentuh batin.

[Ini adalah pengembangan dari ‘perang puisi’ antara saya & @aMRAZing di suatu malam]