Pagi ini saya mendengarkan CD Musik Pandai Besi “Daur Baur”. Nama Pandai Besi memang sering banget seliweran di timeline saya dari beberapa bulan lalu, tidak menilik lebih jauh, sekilas yang saya tahu mereka adalah project baru Efek Rumah Kaca yang mendaur ulang lagunya di studio Lokananta. Bersamaan pula saat itu banyak sekali tagar #SaveLokananta di hembuskan secara digital oleh insan insan yang peduli dunia permusikkan.
Oke, apa itu Lokananta?

Lokananta itu studio rekaman pertama di Indonesia yang terletak di Solo, berdiri di tahun 1956 (seumuran ama Ibu aku ini). Lokananta sendiri berarti “Gamelan di khayangan yang berbunyi tanpa penabuh”, nama yang cantik ya 🙂
Mereka dulu memproduksi piringan hitam dan juga kaset. Di Lokananta juga tersimpan ribuan lagu rekaman daerah bahkan juga pidato Bapak Presiden Soekarno. Oh iya, master dari lagu lagu dengan nama nama legendaris kaya Gesang, Waljinah, Sam Saimun (kalian harus denger lagu Sam Saimun, he’s so greeeeat!) ada di sini! Kenapa Lokananta perlu diselamatkan? Karena sekarang aja masyarakat udah pada lupa dan bahkan gak tau (saya juga baru tahu gara gara ERK & timeline twitter). Sejarah musik Indonesia padahal ada di situ. Kini Lokananta tak laku, selain karena pembajakan kaset dan turun sejak 1980 an, lambat laun mereka mati suri dan gak punya biaya merawat koleksi 40 ribu keping vinyl. Ditambah rayap dan ngengat yang menggerogoti bangunan. 😦
Lagu kebangsaan Indonesia Raya juga direkam di sini. Nah Lokananta ini berarti sakral gilak kan ya. Itulah kenapa kemudian ada tagar #SaveLokananta. Dan lalu, Efek Rumah Kaca, salah satu band yang saya segani dengan musikalitas serta lirik lagu berbahasa Indonesianya ini saya dengar sedang membuat crowdfunding untuk membantu mereka rekaman di Lokananta, dengan nama Pandai Besi. Lebih lengkap tentang crowdfundingnya bisa dibaca di sini.
Hari ini, rekaman mereka sampai ke ruang dengar saya lewat CD. Ada 9 lagu: “Hujan Jangan Marah”, “Menjadi Indonesia”, “Di Udara”, “Melankolia”, “Jangan Bakar Buku”, “Laki Laki Pemalu”, “Debu Debu Berterbangan”, “Jalang”, “Desember”
Dari lagu pertama saya udah merinding, eargasm. Dan saat mendengarkan lagu “Menjadi Indonesia”, saya berkaca kaca terus nangis. Bagus banget! Kaya sekali.
Gilak sih, mereka menciptakan sejarah. Bagi mereka sendiri dan juga bagi Lokananta itu sendiri. Gak ngebayangin kalo aku ikut menyaksikan proses rekaman konvensional dan live di sana. Bisa pingsan kaku kayaknya.

Edan banget, lagu yang sama, lirik yang sama, ketika diaransemen ulang bisa memberikan makna yang berbeda.
Nah saat saya mendengarkan lagu “Menjadi Indonesia”, entah kenapa saya keinget sama Guruh Gypsi. Mereka adalah band yang menurut saya beraliran psychedelic avant garde, muncul di tahun 70 an. Kolaborasi antara Guruh Soekarno Putra (for me, he’s a truly an Indonesian Artist) bersama band Gypsi (Chrisye, Keenan Nasution, Roni Harahap, Oding Nasution).
Kata pacar saya, kenapa saya merasakan aura Guruh Gypsy karena tipe lagunya sama sama soaring sounding dan kibornya pake hammond gitu. Ah entahlah saya ga begitu paham sama alat alat musik, taunya dengerin dan nikmatin doang.
Mereka kereeen bangeeet. Paraaaaah…. Coba deh kalian youtube Chopin Larung, Indonesia Maharddhika, Baring Gundah, Janger 1897, Smaradhana (yang paling familiar mungkin ini). Di jaman segitu ya, mereka menampilkan musik progresif yang kental dengan instrumen musik Bali, gamelan, campur jazz, dengan sentuhan synthesizer. Sangat grande dan mistis di saat yang bersamaan. Hahaha. Kalo saya denger sih yaa…
Duuh saya kalo hidup di jaman itu, bisa gila pengen ngikut kemana mereka live kali ya. Saya bangga banget Indonesia punya Guruh Gypsy yang dengan semangat perjuangan Guruh Soekarno Putra mempertahankan identitas Indonesia pada musiknya dan juga pada Efek Rumah Kaca dengan Pandai Besi-nya yang bersemangat menolak kejenuhan atas karyanya, sehingga dengan materi lama, dengan aransemen baru bisa menciptakan keindahan yang berbeda,
Itulah kekayaan seni. Tak akan mati. Terus hidup bersama waktu.
Seni, selalu bisa ditempa dan dikaryakan kembali.