Denyut Cinta

Kau tahu nadiku mendenyut cinta sejak pertama kita bertatap mata dan memutuskan berjalan bersama. Waktu telah merencanakan kita, bertatap muka di persimpangan. Dan lalu kita beriringan memilih satu jalan, denyut cinta ada di setiap genggaman.

Aku pernah bilang kalau ada yang memberiku denyut cinta, katakan saja. Ketuk saja pintuku, siapa tahu terbuka. Dan kala itu, tepat ketika aku mati suri, kau sang pembawa denyut cinta mendekatiku, berdiri di sampingku dan jantungku tanpa ragu menerima itu. Denyut cinta melubangi jantungku sendiri. Terganti oleh hadirmu yang memacu seluruh fungsi tubuhku.

Denyut cinta merajalela.

Setiap usapan di anak rambutku. Untuk setiap sidik jari yang membekas di telapakku. Percayalah, nadiku mendenyut cinta

Ketika kuracik hangat kopi setiap pagi sembari melihat siluet mu di terasku, setiap adukannya denyut cinta merajai jiwa.

Ketika kita berbagi setangkup roti bersamamu setiap pagi, dan denyut cinta menjajahi. Aku merasa cukup, cukup yang sempurna.

Saat senyummu mendesir bulir darahku. Terekam. Menadi sampai mati, denyut cinta mendominasi

Saat dalam kelam, aku membaca lagi sms yang kau kirimkan, kubaca ulang selama ribuan malam. Masihku merona dalam denyut cinta

Kala sorotmu, menelanjangi parasku, jutaan kali setiap malam, sebelum kita tenggelam dalam mimpi yang terdalam. Dalam setiap kedipan, aku mendenyut cinta

Denyut cinta, mendetak, melemah, berhenti, mati. Kala kau pergi, berjarak miliaran centi.

Denyut cinta detak rindu debaran kasih gejolak cumbu kurasa semua itu, membalutku. Bersamamu.

Denyut cinta menemani debar jantungku. Semoga berdetak. Sampai akhir, yang paling akhir.

Semoga setelah ini denyut cinta ku bernyali. Menyeretku di hadapanmu. Mengucap janji, sehidup, semati, dalam bingar dan sepi.

“Karena aku berdenyut cinta dan engkaulah nafasnya”


Jakarta, 14 Agustus 2010

bernafas dan bernadi. masih.