Aku sembunyikan seorang badut kecil di loker hati sebelah kiri. Dia bergincu merah. Lebar dan sumringah. Dia keluar sesekali, ke halaman senja.
Dia tanam bibit tawa, sepetak demi sepetak. Dialirinyalah pekarangan itu dengan air mata. Badut penyemai tawa. Ia menunggu hingga panen tiba
Badut berambut kusut. Bertubuh gendut, namun bertutur lembut. Badut tersabar dalam sejarah. Ia membendung tangisku dalam sumur harapan.
Kalau petak-petak tawa itu gersang, ia aliri lagi dengan air mata. Ia pupuk juga dengan doa.
Aliran air mata membuat bibit tawa itu tumbuh, menjadi gelak menjadi bahak. Badut itu memanennya satu per satu. Ia sebar di hati dan bibirku
Itulah, untuk merasakan bahagia, kau harus mengecap apa itu duka. Air mata itu bisa jadi penjernih, bagi hati dan jiwa yang keruh.
Itulah, air mata hadir untuk sebuah tawa. Air mata membawa pelangi, dari teriknya emosi.
Terpelanting keras menukik bumi, setelahnya kau akan terpental ke angkasa kebahagiaan. Tersangkut di awan, tinggal dalam rasa syukur.
Akan ada, akan tiba. Kini biarkan badut itu terus bersembunyi. Di hati sebelah kiri. Bekerja sendiri, dan menghibur hati ini.
When you sad, or bored. Distraction is one of the answer, or you can hire a clown. But when you alone, you should entertain yourself.
Jakarta, menunggu badut, dari pekarangan hatimu.
Menyemai tawa berdua.
4 Agustus 2010