Percakapan Ruang Tunggu

Pagi ini aku berada di ruang tunggu bandara dengan dirajam gelisah pada jarum jam yang tak mau bergerak lebih cepat dari yang aku harap. Sesegera mungkin aku ingin meletakkan tubuhku di kursi dan terbang bersanding dengan awan untuk tiba di kotanya. Meskipun berkali kali dia menerbangkan aku dengan kata-kata yang penuh candu. Tapi saat saat ini, sungguh membuatku ingin melompati waktu.

Awan seperti membaca gelisahku dan kemudian menggodaku, jutaan tetes air terpelanting ke bumi dengan keras. Ah, semoga hujan ini tak memperpanjang durasi dudukku di ruang tunggu itu. 

HP ku bergetar. Terbaca nama yang selalu memenuhi kepalaku di layar.

Zarry : “Pancar sinar matahari disini begitu terang, seperti senyummu. Pagi disini, siap untuk menyambutmu :)”

Rahne : “Bagaimana bisa matahari menemanimu, dan hujan bersanding denganku, sementara langit kita masih sama bernama rindu”

Aku mengeluh, aku takut hujan ini menunda keberangkatanku.Zarry : “Matahari hanya menemaniku, dengan sinarnya ia mengaku bahwa kamu masih lebih bercahaya darinya”

Aku selalu heran, bagaimana kata-kata yang dia susun, bisa mengantarkan senyum tak berkesudahan. Aku membalas lagi.

Rahne : “dan disini, hujan menemaniku, dengan rintiknya ia berseru agar aku selalu bisa berteduh di matamu” 

Zarry : “Senyumku tidak sedemikian lebar untukmu berteduh. Namun bila hujan memukul atapmu, ada pelukku untuk kau tidak kedinginan”

Seketika aku merasa ruangan ini menghangat, aku curiga ada seseorang yang mematikan AC. Tapi kurasa, abjad yang kau susun di layar, berhasil menembus hati yang menggigil karena rindu. Tapi tetap, selalu kunanti peluk itu.

Rahne : “Zarry, pelukmu tak dapat terganti oleh kata-kata, nanti, jika jarak kembali mengetuk-ngetuk jendela. Dekap aku selagi bisa”

Ya, entah kenapa jarak selalu suka berada di tengah tengah kita. 

Zarry : “Aku tidak memerintahkan awan untuk merintikkan kerinduanku, tetapi tidak kah kau dengar rinduku memukul-mukul atap rumahmu?”

Ya hujan semakin deras, sederas rasa yang menyebar ke tubuhku.

Rahne : “Rindumu telah menembus nadiku, kini ia berlayar tepat di jantungku. Sungguh saat ini aku ingin memerintahkan kakimu, membawamu tepat dihadapanku”

Zarry : “Kuharap hujan dapat membuatmu menulis namaku di setiap kaca basah yang kamu jumpa, sebab dari timur langit aku memandangmu”

Rahne : “Percayalah, tak hanya di kaca lembab yang aku jumpa, kutulis namamu di papan langit sepanjang waktu yang aku punya”

Zarry : “Kau tahu? Ada banyak kata untuk kita melukis hujan, tapi lihatlah, langit saat ini sedang asyik menulis kita. Semoga Tuhan mau menjentikkan jari-Nya sekali saja, supaya tiba tiba di sana ada aku yang memelukmu dari belakang”

Aku tahu, kau ingin sekali berada disini menemaniku. 

Rahne : “Tuhan tak hanya akan menjentik, dia akan bertepuk tangan saat hati kita bergandengan”

Ya.. mungkin semua akan bertepuk tangan saat kita bergandengan. Aku melumat senyumku sendiri karena terbesit rasa malu yang menyapu merah di wajahku 

Zarry : “Disini aku berharap agar malaikat mau menendang aku sampai aku melambung jauh di langit dan kemudian jatuh di pangkuanmu”

Rahne : ” Ha ha ha jika benar begitu, disini, aku akan mengakarkan tubuhku pada kaki langit, menunggu waktu hingga kau tiba di pangkuanku”

Zarry : “Pagi ini aku seperti sehelai daun yang disentuh embun. Namun lebih dari itu, akulah aku yang cinta bumi dan juga kamu, Aku telah banyak melihat orang-orang yang pandai melukis pagi dengan baik, tetapi sekarang, pagi itu sendiri yang melukis kamu”

Rahne : “Sebentar lagi aku akan mendekat pada awan, akan kubisikkan padanya, “Tolong gerimisi Zarry saat ini agar dia selalu mengingatku, yang dirintikinya dengan candu, dan sejukkan dia selalu”.

Zarry : “Kaulah kata yang menyejukkan, seperti angin yang muncul dari kepak sayap malaikat”

Kulihat keluar jendela, hujan nampaknya sudah mereda, bersamaan dengan itu, semua penumpang diminta untuk bersiap siap, untuk masuk ke pesawat.

Rahne : “Pesawat sudah menungguku, karena kata-katamu, langit tak lagi menurunkan hujan padaku, tapi senyum yang berkepanjangan”

Zarry : “Kau, telah memasang nyawa di tiap jari tanganku. Nikmati perjalananmu, sebab kau perjalananku. Hati hati, hati”

Rahne : “Kaulah waktu yang ditetapkan, mengitari hidupku, memutari mataku, dan bersarang di hatiku”

Kuangkat kopor dan kulangkahkan kaki beranjak dari ruang tunggu itu. Persiapkan senyummu, Zarry. Sambut aku di kotamu

……< baca kelanjutannya di #SadgenicBook> 

[ Ini adalah kompilasi tweet balas berbalas antara saya dan @zarryhendrik saat saya menunggu pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta, saya tambahkan sedikit agar mengalur seperti cerita 🙂 ]