Aku duduk di dekatnya, sangat dekat. Namun dia terdiam. Dia membisu. Bibirnya seolah seperti tak mau saling terpisah, terlalu rapat. Lalu aku menciumnya, bibirnya masih saja lembut, ntah ramuan apa yang terkandung dalam bibir mungilnya yang tercetak sempurna itu. Efeknya seperti nikotin dan kafein, candu dan tenang.
Dia tidak bereaksi, dia masih saja terdiam. Ciumanku pun rupanya tak bisa melepas rekatan mulut itu. Aku kembali memperhatikannya, perempuan yang membuatku selalu terjatuh itu. Gadis yang membuat smua paras wanita yang aku lihat adalah wajah dirinya. Aku tak lagi bisa melihat wajah wanita lain selain dia dan ibuku sendiri. Keterlaluan.
Dan rambut panjang itu, rambut kecoklatan yang selalu terurai dan kudamba untuk terus kubelai. Rambut yang selalu wangi, namun kali ini entah knapa tidak sewangi biasanya. Kusibakkan di belakang telinganya agar aku bisa melihat parasnya dengan lebih jelas, dan dia tetap tak bergeming.
Kuperhatikan lekat lekat wajah wanita yang aku cinta setengah mati itu, yang membuat kemampuan otakku hilang hampir seratus persen hanya karena selalu memikirkannya. Otak besar, otak kecil, mata bahkan hatiku pun sudah diambil alih olehnya. Sial.
Dia memang bisa menjadi lintah darat yang handal. Entah apa lagi yang masih dia sisakan untukku, sepertinya sudah habis, tersita olehnya.
Aku tak kunjung lepas untuk terus menatapnya. Terakhir menatapnya secara utuh adalah 211 hari lalu, sebelum aku meninggalkan negara ini atas permintaannya untuk mengambil penawaran pekerjaan yang cukup untuk menafkahi kami, paling tidak sampai 3 turunan kalau kita jadi menikah 2 bulan lagi.
Sudahlah tak penting memang pekerjaanku, yang terpenting sekarang adalah jawaban jawabannya.Ya, jawaban darinya. Jawaban yang selalu aku tunggu. Sudah 2 bulan ini aku susah menghubunginya. Dia menghindar, dan seorang kawan mengirimiku email sebuah foto.
Foto yang juga ingin kutahu jawabannnya hingga detik ini. Memang gambar terkadang bisa lebih berkata kata daripada sekedar kata, tapi tentu saja kita tidak bisa menerimanya begitu saja bukan?
“Kamu kenapa?”
Masih belum kudengar suara nya, suara yang selalu kuhapal dan terus terkurung, terngiang di kepalaku. Masih terlalu hening, yang kudengar hanyalah suara dari detik jam dinding yang mengantarkan jarum itu untuk terus berputar statis tiada berhenti. Aku menunggu.
“Kenapa kamu tidak mengangkat teleponku?, tidak membalas emailku?”
“Jawab!!”
Aku menggenggam tangannya. Tangannya dingin, entah apa karena dia takut akan hujaman pertanyaanku dan bingung harus memilih dari ribuan kata untuk disusun sebagai jawaban, atau memang dingin ini sedingin hatinya dulu sebelum berhasil aku lumatkan.
Ya, aku teringat masa lalu. Dimana aku pertama kali melihatnya dan kemudian dengan otomatis cinta ini jatuh kepadanya. Tanpa berpikir. Gadis angkuh dan misterius. Aku tidak pernah berhasil menebak hatinya, namun entah keyakinan apa tapi aku merasa aku pantas untuknya, gak ada yang lain.
Dan dia berhasil aku tangkap atau lebih tepatnya dia menyerah. Aku pejuang handal, batinku.
Tentu saja aku harus mengejar sesuatu yang aku inginkan, dan harus aku dapatkan!. Itu sudah harga mati. Kenapa begitu? tanyakan orangtuaku, merekalah yang mendidikku begitu.
“Katakan apa salahku?”
“Apa aku menyakitimu selama ini?’
“Jawab!!”
Dia tetap menghening, bibirnya tidak bergerak. Bibir yang selalu membentuk senyum maut setiap kali pertanyaan “apa kau mencintaiku” aku lontarkan. Senyum yang membuat daerah sekitarku terguncang seketika. Selama bersamanya aku tidak lagi bisa membedakan mana gempa dan mana getaran yang disebabkan olehnya. Aku binasa.
Tersenyumlah sayang, getarkan tubuhku lagi. Netralkan hatiku yang sudah penuh dengan amarah ini.
“Apakah kau mencintaiku?”
“Jawab sayang!!”
Kita akan menikah 2 bulan lagi dan aku belum tahu jawaban dari pertanyaan itu ” apakah kau mencintaiku” tapi toh walaupun dia tetap hanya memberikan senyum dan tidak memberikan jawaban aku pun tetap berniat akan menikahinya, dan reaksinya seperti biasa. senyum maut, itu saja.
Namun kali ini yang lebih menyesakkanku bukan itu. Ini hal lain, ini mengenai foto yang sedang kugenggam dalam ruas jariku
“Jelaskan ini sayang!!”
“Ini apaa?!!”
“Jelas saja kau menyuruhku keluar negeri, ternyata karena ini sayang?!!!”
Aku menunjukkan foto itu
Foto dimana dia memakai gaun putih dan bukan gaun yang aku pilihkan untuknya di majalah pernikahan itu.
Foto dimana senyumnya berbeda dengan senyum mautnya. Ini senyuman yang lain, senyum bahagia.
Foto dimana dia bersanding dengan keturunan adam yang kesekian.
Foto dimana dia tidak bersanding bersamaku,
Jelas ini foto pernikahan!!
“Kenapa kamu tidak pernah mengatakan hal ini?”
“JAWAB!!”
“Kenapa kau menyerahkan dirimu untukku tapi berbuat ini?”
“JAWAB!!”
“Kenapa kau mau aku cium dan peluk, tapi berhasil membuatku duka selara ini?”
“JAWAB!!”
“Kenapa kamu tidak pernah mengatakan kata tidak atau iya kepadaku?”
“JAWAB”
Percakapan satu arah ini mulai memuncak. Aku jengah dengan semuanya
Aku memang mungkin yang terlalu egois dan memaksakan segalanya.
Aku memperhatikan lagi sekujur tubuhnya, wajahnya sudah pucat. Aku mereda.
Aku membelai rambutnya, kudekati telinganya perlahan, kemudian berbisik
“Terakhir kalinya sayang, aku bertanya ini padamu”
“Untuk kali ini jawablah, aku mohon”
“Apa kau pernah mencintaiku?”
Hening lagi yang kudapat.
Namun dari sudut matanya kulihat tetesan air mata. Dia menangis. Bulir itu mengikuti lekuk wajah sempurnanya.
Aku tak kuasa melihatnya.
Sepanjang aku bersamanya hal itulah yang aku takutkan.
Dan ini terjadi, detik ini…
Dan aku tersadar. Dia tidak pernah mencintaiku.
Kini giliran aku terdiam, cukup lama.
Aku menarik nafas panjang.
“Aku memaafkanmu”
Kemudian mesin penanda detak jantungnya berbunyi.
Bukan bunyi stabil yang aku dengarkan selama aku berada di ruangan ini.
Bunyi detak jantungnya melambat, dan lalu… hilang.
Di hadapan ranjang ini.
Di hadapan tubuh nya yang terbujur kaku karena tabrakan mobil hebat yang terjadi bersama pria di foto itu.
Aku merelakannya..
Aku merelakan nya untuk tidak mencintaiku
dan aku merelakan untuk melepasnya
selama-lamanya