MALEKI & GRAVITA #2

Aku tersentak terbangun, aku merasa mendengar suara Maleki, teriakan lebih tepatnya. Kulemparkan pandanganku ke delapan arah mata angin. Dimana dia? Maleki tidak ada disampingku.

Aku kembali menyapu setiap penjuru. Deburan ombak masih terlukis jelas di depanku. Saat ini pagi masih tuna netra, aku masih melihat bintang yang beranjak pamit mulai menyamarkan diri satu per satu  meleburkan diri pada cakrawala dan matahari muncul perlahan malu-malu.

Aku berusaha mengingat potongan waktu saat terakhir sebelum aku memejamkan mata dan tertidur. Aku dan Maleki terlentang pada kasur pasir di pantai ini semalam, melakukan hal yang entah sejak kapan menjadi ritual ketika kita saling bertemu. Terlebih ketika aku dan Maleki dalam langit, waktu dan tempat yang sama sebelum jarak kembali dengan kejam memisahkan kita. Kita menculik bintang dari gelapnya malam dan menamainya sesuka hati dan menyimpannya dalam kenangan.

Aku mengingat kembali waktu semalam, pembicaraan kita tentang kita, cinta, cahaya dan bintang. Kuputar piringan hitam memori di otakku, memori sebelum aku tenggelam dalam mimpi.

“Cinta kita seperti cahaya yang bergaris lurus, tidak putus dan saling bersentuhan. Seperti garisan cahaya yang membentang antara mata dan satu bintang di sana.”’ – Maleki.

“Di atas sana, langit bertabur bintang yang tak terhingga. Tubuh kita terbaring terlentang memandanginya. Maleki, apakah kita sedang melihat satu bintang yang sama? Jika tidak, biarlah bintang itu berdekatan. Yang penting sama terangnya, sama indahnya.” – Gravita.

“Maka biarlah mata kita menyatu, membentuk satu cahaya!” – Maleki.

“Maka Maleki, jika sudah ada cahaya mata, janganlah lagi menunjuk bintang! Supaya kita tidak merasa bahwa bintang tidak akan pernah bisa disentuh tangan manusia.” – Gravita.

“Jikalau di sana ada kehidupan, pastilah karena cinta, mereka hidup.” – Maleki.

“Jikalau karena cinta, mereka hidup.. pastilah ada pahlawan yang rela mati.” – Gravita.

___****____

Apa aku salah bicara?  Adakah dari susunan kataku yang menyakitinya? Membingungkannya. Ah Maleki. Ini  aku Gravita. Gravita yang memang selalu  bingung mencari kata-kata jika kau ada di depan mata. Gravita yang pernah benci dengan namaku sendiri karena terlalu aneh hingga kau memaknainya secara berbeda. Katamu, aku sangat cocok dengan nama gravita, karena aku adalah pusat gravitasimu. Kemanapun kau pergi, kemanapun kau menuju kau akan tertarik kembali kepadaku. Kau akan selalu jatuh padaku.

Ah ketiadaannya secara mendadak ini membuatku sesak. Khawatir dan rindu kembali memukul mukul hatiku.

“Maleki.. dimana kau?”
Aku berseru kepada entah siapa yang mungkin bisa mendengarku. Aku berlari-lari tak menentu mencari Maleki. Karena aku mendengar teriakannya, sangat jelas. Aku semakin kebingungan? Apa dia meninggalkanku, atau ada yang menculiknyakah? Atau…..aah, aku semakin resah. Aku curiga Neptunus mengambilnya, meleburkan atau menyeretnya pada pusaran ombak yang berkilat.
 
Waktu berjalan maju meninggalkanku yang masih dikemas rasa cemas. Langit mulai luntur, dari hitam cekat menjadi rona merah, dan mulai membiru. Awan-awan putih mulai berarak, matahari mulai mengangkat dirinya dari garis cakrawala. Aku mengarahkan pandanganku pada satu bintang yang masih tersisa sendiri, dia berkelap kelip seolah mengedip genit ke arahku. Itu bintang yang kau tunjuk semalam. Dan dari dalam hatiku aku mengucapkan permintaan

Bintang, aku kehilangan cahayaku. Aku kehilangan titik tujuan garis hidupku. Garis cintaku. Di suatu tempat dia pasti melihatmu, aku menitipkan pelukan dan doa untuknya di setiap terang kerlipmu”

Maleki, semoga kau baik-baik saja”

_____********_______

Bersambung

baca Maleki & Gravita #1 by @zarryhendrik http://bit.ly/bBwnCg