Saya sebenarnya jarang sekali membaca baca status atau note teman di faceook, kalaupun ada waktu untuk menengok, paling cuma sekilas aja. Tapi tadi, saya tertarik untuk membaca tulisan mbak Heni, tentang seorang kawannya. Saat membaca saya seperti sudah membayangkannya menjadi film pendek, abis tulisannya sinematis gitu *alah*, saya dan mbak Heni juga kenalnya karena komunitas film indie sih dulu.
Karena note FB hanya bisa dibaca teman, saya minta ijin untuk share di sini supaya bisa dibaca semua. Selamat membaca 🙂
——————————————————————————————————
8 tahun lalu, tengah malam, tiba tiba seorang kawan mengirim sms, sebaris saja,
“Aku sholat lagi”
Kalau sms itu dikirim oleh teman-temanku yang lain barangkali tak terlalu mengejutkan, tapi ini dari seorang kawan istimewa. Istimewa bukan karena dia kekasihku atau semacamnya, tapi dari latar belakang dan sejarah hidupnya. Aku mengenalnya di Aceh sebulan pasca tsunami, saat itu aku dan beberapa kawan jadi relawan pendamping anak di Alue Peunyareng IDP Camp (sekitar 20 km dari Meulaboh).
Kami bertemu pertama kali di sebuah warung nasi pecel milik seorang transmigran dari Jawa, yang letaknya diseberang IDP camp tersebut. Nyaris tiap sore aku bertemu dengannya, tapi tak hendak berkenalan, alasannya sederhana: dia tentara (dua kali ditempeleng tentara jadi alasan kuat untuk tak berteman dengan mereka). Kalian dari Jawa? begitu sapaan pertamanya, mungkin karena dia mendengar kami bercakap dalam bahasa Jawa. Percakapan kami tak panjang, tapi cukup bikin kami tahu kalau dia (namanya Ben) dan teman-temannya adalah tentara BKO yang baru saja dipindah dari Lhokseumawe ke Meulaboh, dan dia sendiri berasal dari tangsi militer di daerah Senen, Jakarta. Sehari kemudian kami ke Meulaboh untuk berbelanja, dan harus hitchiker untuk bisa pulang ke Alue Peunyareng. Sebuah truk tentara berhenti didepan kami, dan menyuruh kami naik truknya, dia bilang masih berbahaya berkeliaran sampai malam didaerah yang sebelum tsunami dikuasai GAM. Kami sebenarnya tak peduli, kami tak ada urusannya dengan politik, separatisme atau apapun itu, kami cuma relawan. Titik.
Hari-hari berikutnya kami semakin sering bercakap, tapi sebatas situasi Aceh pasca tsunami saat itu. Sampai suatu sore di kedai nasi milik Emak transmigran itu, aku melontarkan pertanyaan yang bikin kaget dan takut teman-temanku.
Aku bertanya pada Ben, “Berapa orang yang sudah kau bunuh selama jadi tentara?”
Dia terdiam lumayan lama, kemudian dia balik bertanya,“Yang di dalam tugas atau di luar tugas?”
Giliran aku yang terkaget-kaget dengan pertanyaannya.
Lalu kujawab, “semuanya”.
Dia lantas menyahut, ” Kalau didalam tugas aku tak pernah menghitung, kalau diluar tugas 4 orang”.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Kau tahu sendirilah kalau tak sedang bertugas kayak gini kami sering dapat orderan”, jawabnya.
“Heh, orderan apa maksudnya?” tanyaku lagi.
Kali ini Ben cuma diam, temannya yang menjawab, “Kalau kau lihat diberita koran ada pengusaha terbunuh, barangkali itu kerjaan kami diluar tugas”.
Oh pembunuh bayaran, kataku dalam hati. Lalu setengah nekat Ben kutanya lagi “Kenapa kau tak mau menghitung orang yang kau bunuh di dalam tugas?”
“Karena itu tugas tentara kalo lagi perang, kalau nggak membunuh ya terbunuh”, Ben menjawab dengan dingin.
Temannya menambahi: “Disini ini antara kami dengan GAM seperti anak-anak main perang-perangan, tapi kalo mati ya mati beneran”
Temannya yang lain menambahi,“Kalau ada GAM yang jadi tawanan, dan komandan menyuruh untuk dibunuh saja karena bisa merepotkan dalam pergerakan tim, Ben ini biasanya yang jadi eksekutornya”
Tambah nekat lagi kutanya Ben, “Pernah merasa berdosa karena itu?”.
“Dosa atau nggak dosa biarlah urusan nanti. Yang jelas sebelum ku tembak, ku beri makanan terbaik yang kami punya, dan kusuruh sholat dulu. Tapi kalo yang diluar tugas kadang-kadang menyesal juga”, jawab Ben lirih.
Sore itu masih banyak pertanyaan terlontar dari mulutku dan entah mengapa aku jadi ingin lebih mengenalnya, lebih tepatnya lebih ingin tahu atas profesinya sebagai pembunuh bayaran.
Ben dan teman-temannya kemudian sering main ke tenda kami, bahkan mentraktir kopi tiap sore. Mereka juga curhat kenapa mereka dipindah ke Meulaboh, rupanya dia dan kawan-kawannya protes kepada komandannya yang korupsi bantuan tsunami dan mereka disuruh bikin pelaporan ganda yang tentunya hanya menguntungkan para jenderal.
Kami melayani curhatan para tentara muda itu, jadi tugas kami disana saat itu selain menjadi pendamping anak-anak, juga melayani curhat para tentara, selain itu juga menangani orang-orang yang kesurupan. Sampai-sampai kawan kami menyebut kami relawan multi tasking, atau SRU Dukun.
Pertemanan kami dengan para tentara itu semakin akrab, bisa dibilang setelah mendengar curhatan mereka kami jadi bersimpati pada mereka. Mereka anak-anak muda sebaya kami yang memilih berprofesi jadi tentara dengan segala konsekwensi dan carut marutnya.
Menjelang kepulangan kami ke Jogja, kami mendengar kabar kalo Ben terkena Hepatitis B, penyakit yang sangat dihindari para tentara selain malaria. Kami menengoknya di tenda rumah sakit militer di Meulaboh dan pun ketika dia dievakuasi ke Medan, kami menyempatkan diri menengoknya sebelum pulang ke Jogja. Sebulan kemudian dari teman Ben aku tahu bahwa Ben dievakuasi ke Jakarta, karena kebetulan sedang ada pekerjaan di Jakarta kusempatkan diri untuk menengoknya. Aku bertemu dengan ibunya yang sedang menunggui Ben dengan sabar, beliau mengajakku bercakap panjang lebar dan akrab. Rupanya Ben sebelumnya sudah bercerita tentang kami pada ibunya itu. Beliau menganggapku seperti anaknya sendiri.
Ketika ibunya pergi sholat, kubilang ke Ben, “kenapa kau tak mencoba sholat, barangkali akan sedikit meringankan beban pikiranmu”
“Aku sudah lupa bacaannya” jawabnya.
“Kenapa kau tak cari istri saja?” tanyaku.
“Apa ada yang mau sama orang kayak aku ini” jawabnya.
“Bilang saja ke ibumu suruh nyariin istri untukmu”, kataku lagi.
Dia malah menyahut, “Kau lihat tadi perempuan yang keluar dari kamar ini sewaktu kau datang, aku pernah hidup dengannya 5 tahun, tapi kami berpisah sebelum aku tugas ke Aceh, itu lebih baik untuknya karena aku sudah pernah hampir membunuhnya 2 kali. Dulu dia kaya raya, punya 2 cafe shop , tapi bangkrut karena uangnya aku minta terus. Dia sekarang sudah menikah dengan seorang marinir. Entah kenapa dia masih mau menjengukku..”
Aku cuma terdiam tak bisa berkata-kata.
Bulan berganti, tiap kali aku ke Jakarta dia selalu menyuruhku untuk mampir rumah kontrakannya walau aslinya dia masih tinggal di tangsi militer. Rumah kontrakannya itu tak jauh dari Stasiun Senen, lumayan mewah untuk ukuran tentara rendahan seperti dia. Yang membuatku heran, dia tak pernah menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Dan yang membuatku bertanya-tanya, banyak perempuan cantik dan sexy hilir mudik keluar masuk rumahnya. Mobil-mobil bagus menjemput atau mengantar para perempuan cantik itu.
Belum sempat terjawab pertanyaan dalam hatiku, Ben tanya,“Kau sampai kapan di Jakarta?”.
“Dua hari lagi aku pulang ke Jogja”, jawabku.
Dia lantas bilang,“Wah sayang besok aku harus ke Tasik dan Karawang”.
“Untuk apa?” tanyaku.
Dia jawab dengan singkat,” Kulakan”.
“Kulakan apa?” tanyaku lagi.
Dia jawab, “Kulakan apa lagi, kau tak lihat yang hilir mudik sedari tadi…”
Oh lala… ternyata rumah mewah ini sarang prostitusi. Hitam betul dunia temanku yang satu ini, batinku…
Karena itulah sms tiba-tiba dikirim kawanku itu cukup mengejutkanku, segera kutelpon Ben, kubilang
“syukurlah”,
Lalu kutanya apa yang membawamu kembali sholat? dia lantas bercerita, kalo dia sudah lelah dengan hidupnya dan dia memutuskan untuk pindah barak militer di Bogor, walaupun masih bekerja di Tangsi Senen, untuk menjauhi segala hal yang pernah dilakukannya di Jakarta.
Setahun kemudian datang undangan pernikahan, ibunya berhasil mencarikan perempuan soleha dari tetangga kampungnya yang menjadi seorang PNS di Departemen Pertanian di Jakarta.
Ketika anak laki-laki pertamanya lahir, dia menelponku, “
Kau pilih satu nama untuk anakku”.
Tapi permohonannya langsung kutolak, kubilang,
“Kau ayahnya, kau lah yang paling layak memberi nama untuknya”.
Note Heni Matalatang. Source dari sini